ISLAM SEBAGAI LANDASAN NATION CHARACTER
BUILDING
PENYUSUN : HALIM RAMDANI
CABANG ASAL : HMI CABANG KABUPATEN GARUT
KATA PENGANTAR
Segala puji-puji dan
syukur untuk kehadiat Allah SWT yang Maha Kasih, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar
dan tanpa kendala yang begitu berarti.
Sholawat serta salam tak lupa terlimpah curakan
kepada kepada Nabi Muhammad SAW, serta ahl al-baitnya nan suci. Dan tak lupa
pula penyusun sampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kawan-kawan
pengurus HMI komisariat STAIDA Muhammadiyah Garut yang telah membantu baik
saran dan dukungan moril dalam upaya pembuatan makalah ini.
Makalah
yang bertemakan “ISLAM SEBAGAI LANDASAN
NATION BUILDING CHARACTER” ini, penyusun buat diperuntukan sebagai bahan kajian keilmuan, khususnya dalam pelatihan
Intermediate Training (LKII) HMI cabang Kabupaten Bandung ini. Penyajian
makalah ini terdiri dari pembahasan-pembahasan mengenai pengertian building
character, ruang lingkup building character. Dan nation character building dalam tinjauan Islam.
Penyusun menyadari bahwa
“tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan, guna dapat memperbaiki dan meningkat kualitas
pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata “ semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi perkembangan dunia pendidikan. Amin-amin yaa rabb al-alaminn”.
Garut, 03 November 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Dasar Pemikiran
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Islam
2.2 Pengertian Nation Character Building
2.3 Permasalahan Umum Terhadap Kebangsaan Indonesia
Islam
Menjawab
2.4 Permasalahan
Global Peran Islam
1. Islam dan
Fundamentalisme Global
2. Dikotomi Agama dan
Politik
Islam Menjawab
1.
Jawaban Terhadap Islam dan Fundamentalisme Global
2.
Jawban Terhadap Dikotomi Agama dan Politik
2.5 Orientasi
Ideologis Hubungan Islam Dengan
Kebangsaan Di Indonesia
2.6 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 DASAR PEMIKIRAN
Dalam konteks hari ini banyak yang melihat
perkembangan politik, social, ekonomi
dan budaya khusunya di Indonesia sudah sangat memperhatinkan. Bahkan, kekhwatiran itu menjadi semakin nyata ketika
menjajah pada apa yang dialami oleh setiap warga Negara, salahsatunya yakni
memudarnya karakter dalam hal memudarnya wawasan kebangsaan dan lain
sebagainya. Ada yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan
wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong
terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
Krisis yang dialami ini menjadi
sangat multi dimensional yang saling mengait.
Krisis eknomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan
politik , yang ada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan
ekonomi. Konflik horizontal dan vertical
yang terjadi dalam kehidupan social merupakan salah satu akibat dari semua
krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa.
Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural
seperti beragamnya suku, budaya daerah , agama,
dan berbagai aspek politik lainnya,
serta kondisi geografis Negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengundang potensi (latent social
conflict) yang dapat merugikan dan
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam hal ini dirasa perlu pembentukan suatu
karakter yang sadar akan perubahan, karena dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal
muculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri
(self-esteem) sebagai bangsa. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin berperan
sebagai landasan pembentukan karakter bangsa dengan nilai-nilai universalnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Nation Character Building ?
2. Apa saja permasalahan yang menyebabkan memudarnya Nation Character Building
pada bangsa ?
3. Bagaimana Islam sebagai solusi permasalahan bangsa ?
4. Bagaimana Nilai-nilai Islam dalam Nation Character Building ?
1.3 TUJUAN DAN
MANFAAT
1. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami peran Islam dalam Nation Character Building dengan tinjauan teologis dan filosofis.
2. Mengetahui permaslahan yang ada dalam Nation Character
Building dan Islam sebagai solusi .
3. Mengetahui nilai-nilai Islam dalam ruang lingkup Nation Character Building.
2. Manfaat
Makalah ini akan bermanfaat sebagai bahan kajian dan tinjauan bagi pembaca mengenai perkembangan karakter bangsa sehingga dapat mengupayakan
pembangunan karakter yang sesuai dengan tujuan utama, yaitu bukan hanya
pembangunan fisik tapi juga mental serta rohani sehingga menyadarkan bahwa pembangunan karakter
berlandaskan nilai Islam akan menuju kemaslahatan berbangsa dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ISLAM
Kata islam berasal dari bentuk tasrif dari
kata sallama yang dimaknai sebagai sikap hidup pasrah hanya kepada Allah SWT,
dan merujuk pada islam. Identifikasi kata islam merupakan proses historis
sosiologis perjalanan kaum muslimin ketika mengalami interaksi sosial dengan
orang non-arab dan ada keperluan untuk mengidentifikasi diri.
Didalam Alquran, setiap sapaan Tuhan selalu diawali
oleh kalimat yā ayuha al-ladzina āmanū (hai orang-orang yang beriman). Hampir
tak ada satupun kalimat saapaan Tuhan untuk komunitas Muhammad dan pengikutnya
yang diawali dengan wahai orang-orang Islam. Karena itu, agama bagi pengikut
ajaran Muhammad baru dinamai “Islam” pada periode awal Islam setelah nabi
Muhammad wafat. Dan kata itu digunakan belakangan untuk mengidentifikasi diri
dan kelompok, karena kaum yang sudah menjadi muslim pada waktu itu bukan hanya
kalangan orang arab mana mungkin mereka mengidentifikasi diri mereka dengan
sebutan “arab”, dan kalau perkataan “iman”, semuanya juga beriman. Maka untuk
mengidentifikasi itu semua menggunakan kata “islam”.
Kata islam dalam al-Qur’an seperti pada ayat,
inna al-dina ‘inda allahi al-islam mengandung pengertian sesungguhnya agama
bagi Allah ialah sikap pasrah kepada Allah, yakni islam itu. Sehingga semua nabi
dan para pengikutnya adalah muslim, Alquran menggambarkan semua pembawa kebenaran
bagi manusia, nabi maupun rasul, selalu ber-Islam. Sebagai contoh, Isa dan para
sahabatnya (kelompok al-hawariyūn), dalam QS, 3:52: آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا
مُسْلِمُونَ
bersaksi bahwa “kami adalah muslimun”.
Ibrahim, sebelum meninggal, juga berwasiat kepada Ismail dan Ya’qub supaya
“jangan mati kecuali dalam keadaan muslim”. Karena itu mereka kita anggap
sebagai orang yang memiliki perbuatan dan sikap hidup yang Islami.
Dalam
hal ini Islam dimaknai manjadi Islam sebagai sikap hidup, dan Islam sebagai
identitas hidup, sikap hidup yang mempunyai nilai karakter yang islami sesuai
dengan identitas hidupnya sebagai seorang muslim yang berpedoman pada al-Qur’an
dan as-sunnah.
2.2 PENGERTIAN
NATION CHARACTER BUILDING
Dalam kamus besar bahasa Indonesia character diartikan sebagai
sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, perangai, akhlak, sikap atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Secara
terminologi, character berarti pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam
segala tindakan dan pernyataan dalam hubungannya dengan bakat pendidikan,
pengalaman dan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, dari definisi character di atas dapat kita
simpulkan bahwa membangun character (character building) adalah suatu proses membentuk
jiwa sedemikian rupa sehingga membentuk suatu karakter yang menarik dan berbeda satu sama lainnya. Character building merupakan modal dasar
dalam pembentukan karakter sebuah bangsa, seperti halnya ungkapan Soekarno
dalam pidatonya “Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi,
membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap
utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu,
namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai
tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.” (dikutip dari salah satu pidato Bung Karno)
Pembangunan karakter inilah yang kiranya perlu
diperhatikan pada bangsa, karena tanpa karakter yang kuat tersebut, bangsa akan
terombang-ambing oleh arus globalisasi yang begitu kerasnya menggoyang
sendi-sendi karakter kita sebagai bangsa. Kekhawatiran Soekarno terbukti pada
saat ini ketika krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis
kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang
dipetaruhkan. Maka, sekarang ini adalah
saat yang tepat untuk melakukan revaluasi terhadap proses terbentuknya “nation
and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan
yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan
menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan
Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno,
”menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.
2.3 PERMASALAHAN UMUM TERHADAP KEBANGSAAN INDONESIA
Disamping itu, timbul pertanyaan mengapa
akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat,
terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal
yang menjadi keperhatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan
telah menjadi dangkal atau terutama di kalangan generasi muda seringkali
disebut bahwa sifat materialistic mengubah idealisme yang merupakan jiwa
kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi
kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai Negara, terutama
yang amat mencekam adalah perpecahan negara-negara lainnya Mesir, Suriah dan
lain sebagaginya, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau
keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan
tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini, adat istiadat dan budaya etnik
telah mulai termarginalkan karena perkembangan terhadap informasi begitu cepat
perkembangannya.
Dari uraian itu sampai pada perumusan untuk
menghadapi arus globalisasi tersebut, berbagai bangsa atau kelompok masyarakat
mencoba membangun benteng untuk menghadang arus globalisasi, ada yang tertutup
(mengisolasi diri), dan ada yang mencoba dengan cara yang keras dan frontal,
dan dengan menyerahkan seluruh kepribadian bangsa pada arus globalisasi,
sehingga melebur menjadi satu. Karena infrastrutkur budaya dan sistem politik
yang kurang memadai di dalam bangsa itu, kelompok atau bangsa semacam ini
biasanya akan terjatuh pada watak ketidakadilan dan penindasan. Permasalahan
yang timbul adalah etnisitas, etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar
ciri-ciri yang sama dalam hal budaya, Bangsa Indonesia terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa. tentunya banyak sekali perbedaan yang ada, jika
nilai kebangsaan mulai memudar dalam diri rakyat indonesia maka perseteruan
antar etnik/kelompokpun terjadi ,terbukti dari perseteruan antara kelompok-kelompok
budaya seperti madura dengan dayak,dan lain sebagainya.
ISLAM MENJAWAB
Harus dipahami dahulu bahwa untuk menuju
pembangunan karakter bangsa terlebih dahulu membangun karakter individu yang
baik dan sejalan dengan karakter bangsa, dalam hal ini berkaitan dengan
etika-etika dalam norma agama. Islam merupakan ajaran agama yang sangat
mementingkan sebuah etika atau ahlak, merujuk pada suri tauladan nabi Muhammad
SAW, dan berpakem pada Alqur’an dan As-sunah. Di Indonesia Islam memiliki
kontribusi yang besar dalam membangun karakter bangsa indonesia. Sejak semula
Islam memiliki watak dinamis dan akomodatif baik relasinya dengan unsur-unsur
lokal maupun unsur dan pengaruh luar. Dalam proses relasi antara Islam dan
unsur-unsur lokal misalnya, Islam, tentu karena kemampuan dan kepribadian para
pembawa pesan, melakukannya dengan kreatif, tidak dengan memaksakan unsur-unsur
Islam yang notabene dari luar betapa pun bagusnya pesan dan unsur itu.
Melainkan dengan cara mengasimilasikan dan mempertukarkan unsur-unsur positif
dan negatif.
Solusi pertama Islam terhadap permasalahan
tadi yang berawal dari kemajemukan atau masyarakat yang heterogen yaitu tentang
penerapan etika atau moral dan memberikan ruh ihsan dan menjadi pembentukan
karakter, dalam QS As-syura ayat 37 “Wa idza’ ma ghadlibu hum yaghfirun”
(apabila mereka marah memberi maaf)
Kebhinekaan bahasa dan ras di Indonesia dan
bahkan di seluruh bagian dunia sepanjang sejarah juga diakui ayat Al-Quran: “Dan
diantara tanda-tanda kebesaran Allah, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi dan
bahasa dan warna kulit (ras) yang bhineka.. Sesungguhnya pada yang kebhinekaan itu ada tanda bagi orang-orang
yang belajar.” (Al-Rum:22).
Ini menjadi basis tekstual bagi pluralitas bahasa dalam arti sempit dan bahasa
dalam arti budaya manusia. Keragamaan budaya menjadi tanda kebesaran Allah.
Menurut cara penafsiran ini, ada unsur ketuhanan didalam keragamaan manusia dan
budayanya.
2.4 PERMASALAHAN
GLOBAL PERAN ISLAM
1. Islam dan Fundamentalisme Global
Menurut
Martyn E. Marty fundamentalisme agama bisa diidentifikasikan dengan empat ciri
utama : pertama fundamentalisme adalah oposisionalisme. Fundamentalisme Islam selalu
berada pada posisi melawan atau menentang setiap arus global yang dilihat sebagai ancaman bagi agama,
sperti modernitas, liberalisasi, sekulerisasi
dan westernisasi. Kedua adalah penolakan hermeneutika, muslim fundamentalis
menolak sikap kritis terhadap tekstualitas agama, teks-teks al-Quran seharusnya dipahami
secara literal, mereka meyakini nalar manusia tidak bisa mencapai penafsiran
yang sesuai dengan teks-teks agama. Ketiga kaum fundamentalis menolak pluralisme
agama, menurutnya pluralisme agama adalah hasil dari menafsiran yang salah atas
ayat-ayat al-Quran.
Pada
abad ke-20 fundamentelisme ini menguat dan mengejutkan banyak pihak. Pada abad
ke-20 merupakan kemenangan sekulerisme
dan peminggiran peran agama dari kehidupan masyarakat. Kenyataannya
fundamentalisme justru menguat. Fundamentalisme agama bukan khas islam,
fundamentalisme adalah suatu kondisi yang ada setiap tradisi agama, dalam
Kristen sikap
fundamentalis begitu terbuka, Bush seorang fundamentalis kareanya perang yang
dikumandangkan Bush terhadap Islam garis keras yang dianggap sebagai teroris
pada dasarnya adalah perang antara dua kubu fundamnetalisme.
Adanya
kaum fundamentalisme islam selalu dikaitkan dengan istilah terorisme, dengan
sikap keagamaannya yang kaku dan tertutup terhadap ruang dialog, dan kemudian
mengambil sikap anti-Barat. Dalam konteks Indonesia munculnya kelompok-kelompok
islam radikal dan fundamnetalis yang didiorong persoalan local dan global
sekaligus. Kelompok Islam radikal di Indonesia sulit dipisahakan dengan
asal-usul mereka ditumur tengah adanya hubungan sangat erat antara radikalisme
Islam di Indonesia dengan gerakan yang sama di Timur Tengah. Dengan menganut
doktrin-doktrin yang sama, Islam radikal di Indonesia bentuk praktik yang dilakukannnya berupaya
untuk mengimplentasikan syariah Islam, doktrin lainnya adalah jihad, bagi sebagian besar kelompok Islam radikal,
jihad bermakna kekerasan untuk penegakan ajaran Islam, meskipun demikian harus
diakui bahwa kelompok Islam radikal ini beragam, dan akhirnya mengubur
nilai-nilai kebangsaan.
2. Dikotomi agama dan politik
Mengubah
hubungan antra agama dan Negara adalah strategi awal yang dilakukan oleh para
sekuleris unruk
mewujudkan pemikiran mereka. Mereka memisahakan politik dri agama, serta memisahkan agama dari Negara, mereka
mempopulerkan istilah “tidak ada agama didalam Negara dan tidak ada Negara di
dalam agama”, Bahkan ada sebagian sekuleris
yang memisahakan agama dari semua aspek kehidupan ini secara keseluruhan,
mereka menganggap bahwa agama adalah persoalan pribadi.
Yang dimaksud dengan ungkapan “tidak ada agama dalam
Negara” adalah politik tidak memiliki agama, maka dari itu tidak diharuskan
melaksanakan norma dan nilai-nilai agama dalam berpolitik, agama hanya
dipandang sebagai ritualitas, bagi mereka, Tuhan beserta perintah, larangan dan
ketentuannya, tidak punya tempat dalam ranah perpolitikan.
Konsep
ini sama halnya dengan teori Machiaveli, yang memisahakan antara etika dan
politik. Dalam konsep ini bahwa untuk mencapai tujuan, boleh menghalalkan
segara cara, pemikiran ini dianut oleh para dictator.
ISLAM
MENJAWAB
1. Jawaban Terhadap Masalah Fundamentalisme Global
Permasalahan
antara hubungan gerakan Islam radikal di Indonesia dengan timur tengah, adalah
pola transmisi satu arah, artinya nilai-nilai islam selalu di transmisikan dari
timur tengah ke Indonesia, dan tidak pernah terjadi sebaliknya, Timur Tengah
adalah produsen doktrin-doktrin Islam dan Indonesia adalah konsumennya. Yang
selanjutnya terdapat keyakinan dikalang pengkaji Islam di Asia tenggara, bahwa
kalangan Islam ini merupakan Islam pinggiran, dilihat dari kemampuannya
bercampur dengan dengan kultur dan tradisi local lainnya, sehingga gerakan
Islam fundamentalis berkeyakinan bahwa ketika memasukan doktrin-doktrin Timur
Tengah terhadap kalangan Islam ini akan cepat masuk dan diterima. Permasalahan
yang urgen dalam hal ini adalah menimbulkannya perpecahan, dan mengklaim
kebenaran sendiri kemudian menafikan kebenaran yang diyakini kelompok lain,
islam yang sekarang semakin menonjolkan golongannya, yang menjadi penting dalam
Islam sekarang adalah umatnya bukan ajarannya yang disebut dengan istilah
“kamunalisme” dengan rasa keagamaan yang merupakan factor yang paling kuat dan
menonjol, dan mengarah pada suatu ikatan sosial yang kuat akibat wujud
pengelompokan keagamaan tadi. Secara historis bila mengaca pada pendudukan
madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah terdapat nilai yang lebih penting
mengenai hubungan Muslim dengan golongan umat yang lainnya diluar islam yang
menekankan bahwa nilai-nilai Islam
merupakan nilai-nilai yang universal seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat
al-Qur’an sbb :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati“.( Al-Qaqarah 62)
2. Jawaban Terhadap Masalah Dikotomi Agama dan Politik
Melihat
permasalahan dikotomi agama dan politik yang lebih memandang bahwa perintah,
larangan dan ketentuan Tuhan tidak berlaku dalam ranah politik, sama dengan
teori yang memisahkan antara politik dan etika. Pemahaman ini akan menghalalkan
segala macam cara untuk tujuan berpolitiknya termasuk memperbolehklan, membunuh
atau memenjarakan kelompok tertentu demi stabilitas nasional dll. Cara
berpolitik tersebut bukanlah cara untuk mengantarakan keapada kehidupan manusia
yang lebih baik, kehidupan manusia akan lebih baik jika system politik
mengikuti norma-norma agama dan kaidah etika yang konsen terhadap
pertimbangan-pertimbangan antara baik dan buruk, benar dan salah. Dalam ranah
Islam politik berarti keadilan bagi rakyat, pemberian hak yang sama, dan
memerdekakan kaum tertindas, melindungi rakyat, demi kemaslahatan, jika agama
masuk dalam politik ia akan berusaha
keras untuk mencapai tujuan manusia yang paling utama, yaitu mengesakan Allah,
membersihkan hati, mengagungkan ruhani, dan mencapai hakikat manusia sebagai
khalifah di bumi, sesuai dengan seruan Allah Qs Al-Baqarah ayat 31 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيفَةً ۖ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"
Agama akan memeberikan dukungan terhadap pemerintah untuk
selalu berusaha mencapai kebaikan, agama akan bersama mereka dalam kebenaran, menghibur
mereka yang sedih, memperkuat yang lemah, mengadili yang berbuat salah,
memperhatikan yang berbuat salah dan sampai benar-benar berhenti dan menyesali
kesalahannya, seperti terdapat dalam sabda Rasulullah “tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zhalim maupun yang terzhalimi”.
Kemudian
seorang sahabat bertanya “ya Rasulullah bagaimana kami harus menolong saudara
kami yang berbuat zhalim?” Rasulullah menjawab, “cegahlah dia agar tidak melakukan kezhaliman lagi, itulah pertolongan
bagi dia”.
Itu salah satu contoh nilai dalam islam yang memberikan
ruh secara tersembunyi terhadap pemerintah dengan istilah “An-Nafs Al-Lawwamah”
(jiwa yang selalu menyesali) yang membuatnya takut berbuat zhalim (korupsi)
dll. Ulama yang bernama Al-Biruni mengungkapkan bahwa “sebuah Negara jika
bersandar pada salah satu sisi agama, maka Negara dan agama akan menjadi
seperti saudara kembar, kemudian pembangunan akan tercapai secara sempurna berkat
keberadaan agama dan negara secara bersamaan.”
Banyak
dalil-dalil yang menunjukan Al-Quran memperhatikan urusan interaksi sosial dan
petunjuk politik (QS Al-Maa’idah 50) :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?”
Dalam bukunya Al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan
tentang dua jenis masyarakat, ada masyarakat duniawi semata dan ada masyarakat
duniawi yang agamis, masyarakat jenis kedua lebih utama dan lebih tepat,
selanjutnya menjelaskan tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat sosial yang
tidak lebih kecil dari peran sikap fanatisme (nasionalisme), jenis masyarakat
yang paling ideal bagi sebuah Negara adalah masyarakat yang menggabungkan agama
dan Negara.
2.5 ORIENTASI IDEOLOGIS HUBUNGAN ISLAM DENGAN KEBANGSAAN DI
INDONESIA
1. Menerima Keislaman dan Menolak Keindonesiaan
Dalam
masyarakat Indonesia kontemporer, ada sebagian khalayak berpendapat bahwa islam
dan Indonesia adalah dua identitas yang bertentangan dan tidak ada keseuaian
diantara keduannya, contoh msyarakat yang berpendapat seperti ini adalah HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) mereka berkeyakinan bahwa islam adalah wahyu Allah,
dan Indonesia adalah buatan manusia, tidak lahir atas landasan syariat islam
dan kekhilafahan, kemudian menolak demokrasi.
Dalam
konteks Islam dan keIndonesian, HTI bisa dikategorikan kepada mereka meyakini
ketunggalan Islam dan ketunggalan Indonesia, yang tidak bisa dikompromikan
secara ideologis, meskipun mereka masuk dan berjuang dalam konteks Indonesia
(dalam rangka membangun keislaman yang universal). Indonesia bagi mereka
sekedar tempat dimana syariat Islam dan khilafah sebagaimana yang mereka pahami
harus ditegakkan. Mereka menolak UUD 45, Pancasila, Demokrasi, partai politik
sekuler, dengan landasan keyakinan Islam sebagai ideologi satu-satunya yang tidak
bisa digandengkan apalagi dinomorduakan dengan kebudayaan. Bagi mereka, Islam tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman dan tempat. Zaman dan tempatlah yang wajib mengikuti Islam.
“Bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan
masyarakat,..karena di sana terdapat masyarakat yang rusak dan hendak
diperbaiki dengan suatu ideologi (mabda) secara inqilabi (revolusioner).” Islam bagi mereka adalah ideologi global yang
tunggal yang tidak mengakui kebhinekaan ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang
ada dalam agama-agama dan kebudayaan (baik yang dianggap sebagai “global”,
“asing”, “Barat”, maupun ‘lokal’).
Pembangunan Karakter Islam Fundamentalis
karakter
atau kepribadian yang dibangun dalam HTI adalah karakter Islam yang homogen dan
tertutup dan menutup akomodasi-akomodasi ideologis dan kultural. Keindonesian
adalah tidak lebih dari tempat dimana karakter itu harus disemai dan dipaksa
menerima gagasan khilafah dan syariat.
HTI
menggunakan dikotomi “Negara Islam” dan “Negara Kafir”, di dalam Negara Islam,
umat non-Muslim harus tunduk pada kekhalifahan Islam itu. An-Nabhani menulis,
warga non-Muslim dibiarkan menjalankan akidah dan ibadahnya, makanan dan
pakaian, nikah dan talak, juga sesuai dengan agama mereka, namun dalam urusan
mu’amalat lainnya, uqubat, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain, warga
non-Muslim wajib mengikuti aturan syariat Islam yang berlaku untuk semuanya.
Kewajiban Negara adalah menerapkan Islam secara keseluruhan. Pelaksanaannya
terhadap non Muslim dianggap sebagai salah satu cara mengajak mereka kepada
agama Islam, sebab syariat berlaku umum bagi seluruh umat manusia. Karena itu, Indonesia bukan Negara Islam,
tapi Negara Kafir. Kebhinekaan diakui sekedar sebagai wahana dan wadah dimana
ideologi Islam diwujudkan.
2. Menomorsatukan Islam dan Menomorduakan Indonesia
Ada kelompok yang
terlibat dalam proses demokratisasi di Indonesia, yang memperjuangkan Islam
sebagai sistem yang komprehensif namun dalam konteks Indonesia yang majemuk
secara budaya, agama, dan ideologi. Partai-partai politik “Islamis”
mengutamakan Islam sebagai sistem yang paling baik dan paling benar, namun
berjuang mewujudkannya dalam konteks falsafah Negara Pancasila, UUD 45 dan
peraturan-peraturan lainnya. Namun demikian, mereka memahami konstitusi dan
falsafah ini bukan sebagai prioritas utama, kelompok-kelompok Islamis ini
memiliki konsep tarbiyah dan da’wah yang merujuk pada sumber-sumber
abad pertengahan seperti Ibn Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, dan abad modern
seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu
‘Ala al-Maududi, dan lain-lain. Mereka tidak menolak demokrasi (diterjemahkan
menjadi al-dimukratiyyah), tapi bukan
demokrasi liberal. Mereka mencoba melakukan Islamisasi demokrasi, dengan
mengembangkan konsep-konsep Islam seperti syura
dan Mithaq al-Madinah (didefinisikan
sebagai Piagam atau Konstitusi Madinah). Mereka dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Ikhwan al-Musliminnya.
Kelompok-kelompok Islamis menjadikan Indonesia sebagai bangsa dimana umat Islam
menjadi pemilik utamanya, dan menjadikan Islam sebagai din, atau pola hidup yang lebih daripada definisi sempit “agama”
yang private dan personal saja.
Pembangunan Karakter Bangsa Kelompok Ini
Mereka
menomorsatukan Islam sebagai ideologi perjuangan, dan mengakui kebhinekaan
budaya Indonesia sejauh itu tidak menghambat supremasi pemajuan Islam dan
kemajuan umat Islam di Indonesia dan di manca Negara. Bagi mereka, Islamic umma first, Indonesia second, misalnya ketika mendukung Palestina, dan
menyerukan jihad dan dakwah melawan kaum kafir Amerika,
Yahudi, Zionis, dan sekutu-sekutunya. Mereka tidak menolak toleransi (tasamuh) dalam pengertian kerukunan
sosial antar umat beragama; terbukti mereka bisa melakukan koalisi-koalisi
dengan berbagai partai dan kelompok sejauh tujuan-tujuan dasarnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Secara budaya,
mereka lebih terarabkan dan Islam terlihat di formalitaskan, mendukung
Islamisasi ilmu pengetahuan, Islamisasi budaya, Islamisasi ekonomi seperti bank
syariah, dan Islamisasi masyarakat (Islamization
of society) sebagai bagian dari program Islamisasi Indonesia secara
keseluruhan. Mereka pun semakin pragmatis, tidak mengusung gagasan Negara Islam
secara formal, tapi menyuarakan “clean
and good governance” ketika kampanye dan ikut berkompetisi dengan
partai-partai politik Islam lain dan nasionalis “sekuler” dengan organisasi dan
jaringan yang solid terutama di kota-kota dan kampus-kampus dan sekolah-sekolah.
Topik penting dalam tarbiyyah mereka adalah perang pemikiran (al-ghazw al-fikri) antara Islam dan
sistem-sistem jahiliyyah, seperti
materialism, komunisme, orientalisme, dan kapitalisme. Lawan perang pemikiran
mereka adalah Yahudi, Zionis, Kristen, Zoroaster, Ateis, dan kaum kafir lainnya
yang bergerak di misi, pendidikan, buku-buku, media cetak, klub-klub, olahraga,
yayasan-yayasan, lembaga-lembaga, hiburan, seni, musik, dan film. Mereka juga
sering menggunakan teori konspirasi Zionis dan AS yang memerangi Islam. Mereka
setuju dengan toleransi beragama dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan
politik, bukan pada persoalan aqidah dan ibadah. Melalui politik sebagai
dakwah, mreka berusaha menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Program utama mereka,
adalah Islamisasi Indonesia, Mereka memformulasikan nilai-nilai moral yang
Islam seperti keadilan dan kesejahteraan, namun menafsirkannya dalam kerangka
Islam sebagai jawaban (Islam huwa al-hal).
Hubungannya dengan kelompok lain, mereka memiliki slogan “Yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (mereka bercampur/bergaul dengan
kelompok-kelompok lain, tapi mereka memiliki identitas yang membedakan). Muatan tarbiyyah
mereka adalah tauhid, akhlaq dan fikrah.
Mereka melakukan formalisasi syariat Islam, dengan cara melakukan
perjuangan bertahap: mereka melakukan dialog dengan kelompok-kelompok lain,
termasuk non-Muslim mengenai konsep dan esensi syariah: menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Secara prinsip, mereka
mengakui eksistensi penganut agama-agama lain, dan memvisikan jaminan kebebasan
beragama dan hak-hak sipil mereka, seperti dicontohkan Piagam Madinah.
3. Menerima
Keislaman dan keIndonesiaan
Orientasi ideologis
keempat, dianggap “mainstream”, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan
masyarakat yang berkembang dari tradisi madrasah, pesantren, dan IAIN (termasuk
UIN dan STAIN) dan PTAI lainnya. Kelompok “mainstream” di Indonesia yang sering
disebut “moderat” itu memiliki jasa yang besar dalam pembentukan karakter
masyarakat Muslim dan bangsa Indonesia. Rumusan Muhammadiyah tahun 1959
“menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yan sebenar-benarnya”, menunjukkan tujuan ormas ini yang tidak
berorientasi pada politik kekuasaan, tapi pada masyarakat. Secara umum,
Muhammadiyah menjaga keseimbangan antara purifikasi aqidah dan dinamisasi
mu’amalah, keuniversalan Islam dan partikularitas budaya lokal, sambil terus
menitikberatkan visi dan misi dakwah dan pendidikan yang berpegang pada amar ma’ruf nahi munkar, yang “moderat”,
“tidak radikal”, “membela bangsa”, “mempertahankan Pancasila, UUD 45, dan (NKRI).”
Pembangunan Krakter
Bangsa
Pendidikan karakter
bangsa, menurut versi Muhammadiyah, tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Islam
yang moderat itu karena posisi umat Islam yang di tengah (ummatan wasathan). Salah satu buku pedoman yang secara implisit
memuat nilai-nilai pendidikan karakter adalah Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah sebagai hasil muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Buku Pedoman
ini memuat Pandangan Islam tentang kehidupan, kehidupan Islami warga
Muhammadiyah, mencakup kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, kehidupan
bermasyarakat, kehidupan berorganisasi, berbisnis, berprofesi, melestarikan
lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan dalam
seni dan budaya. Buku Pedoman ini mengandung prinsip-prinsip nilai dan norma,
aktual, memberikan arah, ideal, ketuhanan, dan bersifat memudahkan (taisir).
Dalam kehidupan beramasyarakat, Pedoman ini menekankan bahwa Islam mengajarkan
agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti
dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan
memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama Muslim maupun dengan
non-Muslim.
Dalam bertetangga
dengan non-Muslim, diajarkan bersikap baik dan adil, karena mereka berhak
memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, dan memelihara toleransi
sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Pedoman ini juga memuat prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia,
rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, kerjasama umat manusia, jiwa
toleransi, menghormati kebebasan orang lain, menegakkan amanat dan keadilan,
perlakuan yang sama, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan.
Dalam kaitan keislaman dan keindonesian, misalnya, menurut salah satu
aktifisnya, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang bersifat ideologis, karena
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang meyakini bahwa Islam sebagai
satu-satunya Agama Allah yang benar, berdasarkan Tauhid dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Muhammadiyah juga
bertujuan membangun masyarakat utama khairu ummah dan baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur. Menurutnya, Muhammadiyah melakukan pemurnian
(purifikasi, revivalisasi) dan pembaruan (reformasi, dinamisasi, transformasi)
dan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah dan ishlah untuk
terciptanya rahmatan lil a’lamin.
Nahdlatul Ulama, yang dianggap mewakili tradisionalisme Islam karena lahir
dari kalangan ulama pesantren, mengemban visi dan misi keislaman yang berada di
tengah-tengah dalam pengertian melestarikan teologi Ahlussunnah waljama’ah
yang akomodatif terhadap budaya lokal, dibandingkan dengan Muhammadiyah yang
lebih puritanistik. Perjalanan NU sejak awal hingga sekarang bersifat kompleks dan
dinamis, meskipun terus dianggap sebagai wakil Islam tradisionalis yang
moderat.
Secara khusus NU juga hadir untuk menjaga mazhab Ahlussunnah wal-jama’ah
dan mazhab fiqih Syafi’i yang sudah dianut banyak ulama dan pesantren di Jawa
khususnya. NU
pun harus memperbanyak pondok-pondok, madrasah-madrasah, mesjid, langgar,
seperti halnya mengurus anak yatim dan fakir miskin, serta memajukan urusan
pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang Islam. Dalam konteks
moderasi politiknya, NU kembali kepada Pancasila, seperti ditegaskan KH Ahmad
Siddiq yang manjur dan berpengaruh pada tokoh-tokoh NU setelahnya, termasuk Abdurrahman
Wahid. KH Ahmad Siddiq misalnya berpidato: “Dasar Negara Pancasila dan agama
Islam dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang.”
KH Ahmad Siddiq
tegas dalam menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi-organisasi
masyarakat dan politik. Dalam hubungan Islam dan Pancasila, KH Ahmad Siddiq
menyatakan, “bentuk Negara kesatuan RI yang sekarang ini adalah bentuk final
dari seluruh usaha penduduka Nusantara, termasuk umat Islam. Umat Islam
Indonesia adalah mayoritas, karena itu semua persoalan rakyat Indonesia adalah
identik dengan persoalan umat Islam Indonesia. Dalam pada itu, Pancasila
sebagai ideologi Negara dibenarkan oleh Islam.” Adalah KH Ahmad Siddiq yang
menawarkan trilogi persaudaraan (ukhuwah Islamiyah, wataniyah, dan basyariah).
Menurut Andrée Feillard, jalan tengah ini sesuai dengan tradisi Jawa yang
ditandai pencarian terhadap suatu harmoni masyarakat. Sementara Benedict
Anderson menilai NU sebagai kelompok yang ingin mempertahankan dan memperluas
suatu pola kehidupan religius. Muslimat NU misalnya, menyatakan “Dengan wadah perjuangan Muslimat NU,
wanita-wanita Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengabdi kepada agama, bangsa, dan
Negara.” Muslimat NU juga mencita-citakan “terwujudnya masyarakat sejahtera
yang dijiwai ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridhoi Allah SWT.” Muslimat
NU ingin “mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan yang sadar
beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Lembaga ini bergerak
“mewujudkan perempuan yang berkualitas, mandiri, dan bertaqwa kepada Allah
SWT.“ Dengan demikian, keislaman dan keIndonesian bagi Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan
menyokong, karena kedua ormas ini lahir di Jawa yang kemudian merebak ke
seluruh daerah di nusantara dan bahkan ke luar negeri. Pendidikan Islam yang
mereka kembangkan cukup berbeda dalam hal penekanan dan strateginya, namun
orientasi keagamaan mereka tidak menegasikan keIndonesian.
Keindonesian yang mereka bayangkan adalah paham kebangsaan yang memiliki
nilai instrinsik positif dan konstruktif bagi kehidupan umat Islam yang relatif
homogen di satu sisi (Sunni dan Syafii) tapi tetap bisa berdialog dengan
kelompok lain seperti Syiah dan mazhab-mazhab lainnya, dan bahkan dalam banyak
kesempatan juga dengan agama-agama lain baik di Indonesia dan maupun di manca
Negara. Maka, ketika banyak
orang mereka menyuarakan dan mengadakan program pendidikan karakter, mereka
sudah memiliki paradigma dan program konkrit, meskipun terus melakukan
pembaharuan-pembaharuan.
NU dan Muhammadiyah
telah dan terus berjasa membangun karaketer umat Islam dan karakter bangsa,
juga dalam hubungannya dengan penganut-penganut agama lain dan bangsa-bangsa
lain pula.
4. Menerima
subtansi Islam bukan sebatas formalitas, dan menerima keindonesian
kelompok ini
menyebut diri mereka “progresif”, termasuk mereka yang mengusung ide-ide
liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme, dalam pengertian yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai substansi Islam. Bagi mereka, Islam,
keIndonesian, dan progresifitas saling mendukung, yang mengambil rujukan pada
berbagai sumber baik klasik, pertengahan maupun modern, Muslim dan non-Muslim,
Islam memiliki nilai-nilai universal dan nilai-nilai partikular. Mereka lebih
mengutamakan nilai-nilai universal itu, seperti keadilan, persamaan hak,
kesejahteraan, kesetaraan, bagi kalangan progresif, nilai-nilai yang universal
bisa diterapkan dalam konteks Indonesia, dan setiap nilai universal dengan
sendirinya adalah Islami, tanpa harus diberi label Islam.
Nilai-nilai Islam
bagi mereka bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan sejarah serta dari
tokoh-tokoh zaman dan tempat yang terus berkembang, memberikan tempat terhormat
bagi akal pikiran yang kritis terhadap sumber-sumber itu. Mereka menolak
teokrasi, mempromosikan ide-ide demokrasi, hak-hak minoritas non-Muslim dan
Muslim, hak-hak perempuan, dan kebebasan berpikir. Bagi sebagian kalangan
mereka, seperti yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), syariat
Islam itu sudah liberal dan liberatif asalkan dipahami secara tepat dalam
konteks ruang dan waktu Indonesia.
Berbeda dengan kelompok lain, JIL dan kalangan yang seide dengan mereka,
melakukan kritik terhadap cara pandangan keIslaman yang menurut mereka kaku dan
tertutup dan anti pemikiran dan penafsiran rasional dan progresif.
Pembangunan Karakter Bangsa Kaum Progresif
Pendidikan karakter
bangsa bagi kalangan progresif lebih merupakan penerjemahan nilai-nilai Islam
dan agama-agama yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan hak
manusia, perdamaian, kasih sayang, dan kemajuan. Karena Indonesia sudah
majemuk, maka Islam tidak bisa tidak kecuali berwajah majemuk, atau
multi-kultural. Islam sendiri pun, menurut mereka, memungkinkan dan bahkan
meniscayakan kebhinekaan tafsir Islam. Yang menarik, keIndonesian bagi mereka
adalah Indonesia yang majemuk, yang kaya budaya, yang toleran dan akomodatif
bagi berbagai gagasan-gagasan luar dan dalam, bukan Indonesian yang
mayoritasnya umat Islam. Sebagian mereka, Indonesia meskipun beragama, tidak
memiliki sejarah Negara agama. Negara agama bagi mereka bukan asli Islam dan
bukan asli Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah konsep bangsa yang memiliki
nilai-nilai positif dan konstruktif bagi menjadi Muslim yang lebih cocok dan
dinamis. Dan bagi mereka, Islam itu majemuk, dinamis, dan terbuka bagi
penafsiran-penafsiran yang rasional dan progresif.
Menurut mereka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan, identitas orang Islam
yang Indonesia dan orang Indonesia yang Islam. Di sini pendidikan karakter
bangsa, meski tidak secara eksplisit, berarti pendidikan yang berorientasi
kemajemukan, dan bagi umat Islam, pendidikannya adalah pendidikan kemajemukan
yang dilandasi nilai-nilai universal Islam, bukan semata-mata simbol-simbol dan
bentuk-bentuk lahiriyah keagamaan.
Dari
paparan empat orientasi keagamaan dan visi pendidikan karakter yang mereka
perjuangkan diatas, ada beberapa pemikiran hubungan yang dinamis antara
keIslaman dan keIndonesiaan dalam rangka pendidikan karakter bangsa. Meskipun
mereka berbeda, mereka umumnya memperhatikan pendidikan. Jika pendidikan
karakter diartikan sebagai pendidikan akhlaq, atau pendidikan kepribadian, maka
mereka memiliki konsep-konsep itu, meskipun berbeda.
2.6 KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan materi ini hal yang paling penting
dalam ajaran Islam adalah nilai Tauhid, mengesakan Tuhan dan memasrahakan diri
dengan implikasi ketaatan dan tunduk patuh spenuhnya kepada Tuhan, yang menjadi
modal karakter awal sebagai muslim, yang tidak terlepas dari hakikat kita
sebagai khalifah di bumi ini. Hubungan terhadap nilai kebangsaan yang merupakan
penerapan kpribadiaan seorang muslim dalam ranah sosial hubungan sesama manusia
(habluminnass), diikat dengan suatu ikatan yang disebut “masyarakat sosial” dan
“masyrakat Negara” selalu berhubungan dengan norma-norma Agama khususnya dalam
hal ini norma Islam dan kaidah-kaidah etikanya Islam.
Sudah terbukti dengan tinjauan teologis maupun filosofis
bahwa Islam sesungguhnya ajaran yang universal, terlihat dari bagaimana Islam
menjawab permasalahan-permasalahan global, maupun munculnya karakter-karakter ideologi
Islam terhadap nilai kebangsaan di Indonesia dan kebhinekaan Indonesia. Dan
Islam sebagai landasan pembangunan karakter bangsa (Nation Character Building)
adalah merubah pemikiran dari Tuhan
banyak (polytheisme) menjadi Tuhan satu (monoteisme). Dari tuhan-tuhan berupa
materialisme, rasialisme, dan lain sebagainya
dilebur dan diganti dengan hanya Allah yang kita Tuhankan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta : Darus Syuruk.
Boy ZTF, Pradana.2008. Fikih Jalan Tengah. Jakarta
: Hamdalah.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Dian Rakyat. 2009. Atas Nama Pengalaman Beargama dan
Berbangsa di Masa Transisi. Jakarta : Paramadina.
Ali, Abdullah. 2007. Agama Dalam Ilmu Perbandingan.
Bandung : Nuansa Aulia.
Munawar, Budhy. Rahman Elza Peldi Taher. 2013. Islam
yang Hanif. Jakarta : Paramadina.
Abdul Ghani, Maqsud. 2000. Agama dan Filsafat. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
BIODATA
Nama :
Halim Ramdani
Alamat :
Jl. Ciledug No 256, Garut
Tempat, tanggal lahir :
Tasikmalaya, 26 Maret 1991
No contact :
08997536667
Email :
halimrmdn@gmail.com
Perguruan Tinggi :
STAIDA Muhammadiyah Garut
Cabang Asaal :
HMI Cabang Kabupaten Garut
0 Comments