About Me

header ads

ISLAM SEBAGAI LANDASAN NATION CHARACTER BUILDING



ISLAM SEBAGAI LANDASAN NATION CHARACTER BUILDING
















PENYUSUN : HALIM RAMDANI
CABANG ASAL : HMI CABANG KABUPATEN GARUT


KATA PENGANTAR

Segala puji-puji dan syukur untuk kehadiat Allah SWT yang Maha Kasih, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tanpa kendala yang begitu berarti.
Sholawat serta salam tak lupa terlimpah curakan kepada kepada Nabi Muhammad SAW, serta ahl al-baitnya nan suci. Dan tak lupa pula penyusun sampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kawan-kawan pengurus HMI komisariat STAIDA Muhammadiyah Garut yang telah membantu baik saran dan dukungan moril dalam upaya pembuatan makalah ini.
Makalah  yang bertemakan “ISLAM SEBAGAI LANDASAN NATION BUILDING CHARACTER” ini, penyusun buat diperuntukan sebagai bahan kajian keilmuan, khususnya dalam pelatihan Intermediate Training (LKII) HMI cabang Kabupaten Bandung ini. Penyajian makalah ini terdiri dari pembahasan-pembahasan mengenai pengertian building character, ruang lingkup building character. Dan nation character building dalam tinjauan Islam.
Penyusun menyadari bahwa “tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, guna dapat memperbaiki dan meningkat kualitas pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata  “ semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan dunia pendidikan. Amin-amin yaa rabb al-alaminn”.



Garut, 03 November 2013

        Penyusun



DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Dasar Pemikiran
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Islam
2.2 Pengertian Nation Character Building
2.3 Permasalahan Umum Terhadap Kebangsaan Indonesia
            Islam Menjawab
2.4 Permasalahan Global Peran Islam
            1. Islam dan Fundamentalisme Global
            2. Dikotomi Agama dan Politik
Islam Menjawab
1.      Jawaban Terhadap Islam dan Fundamentalisme Global
2.      Jawban Terhadap Dikotomi Agama dan Politik
2.5 Orientasi Ideologis Hubungan Islam Dengan Kebangsaan  Di Indonesia
2.6 Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  DASAR PEMIKIRAN
Dalam konteks hari ini banyak yang melihat perkembangan politik,  social, ekonomi dan budaya khusunya di Indonesia sudah sangat memperhatinkan. Bahkan,  kekhwatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjajah pada apa yang dialami oleh setiap warga Negara, salahsatunya yakni memudarnya karakter dalam hal memudarnya wawasan kebangsaan dan lain sebagainya. Ada yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
            Krisis yang dialami ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait.  Krisis eknomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik , yang ada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi.  Konflik horizontal dan vertical yang terjadi dalam kehidupan social merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku,  budaya daerah ,  agama,  dan berbagai aspek politik lainnya,  serta kondisi geografis Negara kepulauan yang tersebar.  Semua ini mengundang potensi (latent social conflict)  yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam hal ini dirasa perlu pembentukan suatu karakter yang sadar akan perubahan, karena dampak krisis multi-dimensional  ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal muculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin berperan sebagai landasan pembentukan karakter bangsa dengan nilai-nilai universalnya.


1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah pengertian Nation Character Building ?
2.      Apa saja permasalahan yang menyebabkan memudarnya Nation Character Building pada bangsa ?
3.      Bagaimana Islam sebagai solusi permasalahan bangsa ?
4.      Bagaimana Nilai-nilai Islam dalam Nation Character Building ?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
1.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.       Memahami peran Islam dalam Nation Character Building dengan tinjauan teologis dan filosofis.
2.       Mengetahui permaslahan yang ada dalam Nation Character Building dan Islam sebagai solusi .
3.      Mengetahui nilai-nilai Islam dalam ruang lingkup Nation Character Building.
2. Manfaat
Makalah ini akan bermanfaat sebagai bahan kajian dan tinjauan bagi pembaca mengenai perkembangan karakter bangsa sehingga dapat mengupayakan pembangunan karakter yang sesuai dengan tujuan utama, yaitu bukan hanya pembangunan fisik tapi juga mental serta rohani sehingga  menyadarkan bahwa pembangunan karakter berlandaskan nilai Islam akan menuju kemaslahatan berbangsa dan bernegara.




BAB II
PEMBAHASAN

     2.1 PENGERTIAN ISLAM
Kata islam berasal dari bentuk tasrif dari kata sallama yang dimaknai sebagai sikap hidup pasrah hanya kepada Allah SWT, dan merujuk pada islam. Identifikasi kata islam merupakan proses historis sosiologis perjalanan kaum muslimin ketika mengalami interaksi sosial dengan orang non-arab dan ada keperluan untuk mengidentifikasi diri.
Didalam  Alquran, setiap sapaan Tuhan selalu diawali oleh kalimat yā ayuha al-ladzina āmanū (hai orang-orang yang beriman). Hampir tak ada satupun kalimat saapaan Tuhan untuk komunitas Muhammad dan pengikutnya yang diawali dengan wahai orang-orang Islam. Karena itu, agama bagi pengikut ajaran Muhammad baru dinamai “Islam” pada periode awal Islam setelah nabi Muhammad wafat. Dan kata itu digunakan belakangan untuk mengidentifikasi diri dan kelompok, karena kaum yang sudah menjadi muslim pada waktu itu bukan hanya kalangan orang arab mana mungkin mereka mengidentifikasi diri mereka dengan sebutan “arab”, dan kalau perkataan “iman”, semuanya juga beriman. Maka untuk mengidentifikasi itu semua menggunakan kata “islam”.
Kata islam dalam al-Qur’an seperti pada ayat, inna al-dina ‘inda allahi al-islam mengandung pengertian sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada Allah, yakni islam itu. Sehingga  semua nabi  dan para pengikutnya adalah muslim, Alquran menggambarkan semua pembawa kebenaran bagi manusia, nabi maupun rasul, selalu ber-Islam. Sebagai contoh, Isa dan para sahabatnya (kelompok al-hawariyūn), dalam QS, 3:52:   آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
bersaksi bahwa “kami adalah muslimun”. Ibrahim, sebelum meninggal, juga berwasiat kepada Ismail dan Ya’qub supaya “jangan mati kecuali dalam keadaan muslim”. Karena itu mereka kita anggap sebagai orang yang memiliki perbuatan dan sikap hidup yang Islami.
            Dalam hal ini Islam dimaknai manjadi Islam sebagai sikap hidup, dan Islam sebagai identitas hidup, sikap hidup yang mempunyai nilai karakter yang islami sesuai dengan identitas hidupnya sebagai seorang muslim yang berpedoman pada al-Qur’an dan as-sunnah.

2.2 PENGERTIAN NATION CHARACTER BUILDING
Dalam kamus besar bahasa Indonesia character diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, perangai, akhlak, sikap atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Secara terminologi, character berarti pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan dalam hubungannya dengan bakat pendidikan, pengalaman dan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, dari definisi character di atas dapat kita simpulkan bahwa membangun character (character building) adalah suatu proses membentuk jiwa sedemikian rupa sehingga membentuk suatu karakter yang menarik dan berbeda satu sama lainnya. Character building merupakan modal dasar dalam pembentukan karakter sebuah bangsa, seperti halnya ungkapan Soekarno dalam pidatonya “Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.”  (dikutip dari salah satu pidato Bung Karno)
Pembangunan karakter inilah yang kiranya perlu diperhatikan pada bangsa, karena tanpa karakter yang kuat tersebut, bangsa akan terombang-ambing oleh arus globalisasi yang begitu kerasnya menggoyang sendi-sendi karakter kita sebagai bangsa. Kekhawatiran Soekarno terbukti pada saat ini ketika krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipetaruhkan. Maka,  sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan revaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an.  Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno,  ”menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.

2.3  PERMASALAHAN UMUM TERHADAP KEBANGSAAN INDONESIA
Disamping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan.  Apabila kita coba mendalaminya,  menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keperhatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau terutama di kalangan generasi muda seringkali disebut bahwa sifat materialistic mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan.  Kedua,  ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai Negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan negara-negara lainnya Mesir, Suriah dan lain sebagaginya, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga,  ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa  ke dalam pola pikir yang asing untuk  bangsa ini, adat istiadat dan budaya etnik telah mulai termarginalkan karena perkembangan terhadap informasi begitu cepat perkembangannya.
Dari uraian itu sampai pada perumusan untuk menghadapi arus globalisasi tersebut, berbagai bangsa atau kelompok masyarakat mencoba membangun benteng untuk menghadang arus globalisasi, ada yang tertutup (mengisolasi diri), dan ada yang mencoba dengan cara yang keras dan frontal, dan dengan menyerahkan seluruh kepribadian bangsa pada arus globalisasi, sehingga melebur menjadi satu. Karena infrastrutkur budaya dan sistem politik yang kurang memadai di dalam bangsa itu, kelompok atau bangsa semacam ini biasanya akan terjatuh pada watak ketidakadilan dan penindasan. Permasalahan yang timbul adalah etnisitas, etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar ciri-ciri yang sama dalam hal budaya, Bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. tentunya banyak sekali perbedaan yang ada, jika nilai kebangsaan mulai memudar dalam diri rakyat indonesia maka perseteruan antar etnik/kelompokpun terjadi ,terbukti dari perseteruan antara kelompok-kelompok budaya seperti madura dengan dayak,dan lain sebagainya.

ISLAM MENJAWAB
Harus dipahami dahulu bahwa untuk menuju pembangunan karakter bangsa terlebih dahulu membangun karakter individu yang baik dan sejalan dengan karakter bangsa, dalam hal ini berkaitan dengan etika-etika dalam norma agama. Islam merupakan ajaran agama yang sangat mementingkan sebuah etika atau ahlak, merujuk pada suri tauladan nabi Muhammad SAW, dan berpakem pada Alqur’an dan As-sunah. Di Indonesia Islam memiliki kontribusi yang besar dalam membangun karakter bangsa indonesia. Sejak semula Islam memiliki watak dinamis dan akomodatif baik relasinya dengan unsur-unsur lokal maupun unsur dan pengaruh luar. Dalam proses relasi antara Islam dan unsur-unsur lokal misalnya, Islam, tentu karena kemampuan dan kepribadian para pembawa pesan, melakukannya dengan kreatif, tidak dengan memaksakan unsur-unsur Islam yang notabene dari luar betapa pun bagusnya pesan dan unsur itu. Melainkan dengan cara mengasimilasikan dan mempertukarkan unsur-unsur positif dan negatif.
Solusi pertama Islam terhadap permasalahan tadi yang berawal dari kemajemukan atau masyarakat yang heterogen yaitu tentang penerapan etika atau moral dan memberikan ruh ihsan dan menjadi pembentukan karakter, dalam QS As-syura ayat 37 “Wa idza’ ma ghadlibu hum yaghfirun” (apabila mereka marah memberi maaf)
Kebhinekaan bahasa dan ras di Indonesia dan bahkan di seluruh bagian dunia sepanjang sejarah juga diakui ayat Al-Quran: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran Allah, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi dan bahasa dan warna kulit (ras) yang bhineka.. Sesungguhnya pada yang kebhinekaan itu ada tanda bagi orang-orang yang belajar.” (Al-Rum:22). Ini menjadi basis tekstual bagi pluralitas bahasa dalam arti sempit dan bahasa dalam arti budaya manusia. Keragamaan budaya menjadi tanda kebesaran Allah. Menurut cara penafsiran ini, ada unsur ketuhanan didalam keragamaan manusia dan budayanya.

2.4  PERMASALAHAN GLOBAL PERAN ISLAM

1.      Islam dan Fundamentalisme Global
Menurut Martyn E. Marty fundamentalisme agama bisa diidentifikasikan dengan empat ciri utama : pertama fundamentalisme adalah oposisionalisme. Fundamentalisme Islam selalu berada pada posisi melawan atau menentang setiap arus global yang dilihat sebagai ancaman bagi agama, sperti modernitas, liberalisasi, sekulerisasi dan westernisasi. Kedua adalah penolakan hermeneutika, muslim fundamentalis menolak sikap kritis terhadap tekstualitas  agama, teks-teks al-Quran seharusnya dipahami secara literal, mereka meyakini nalar manusia tidak bisa mencapai penafsiran yang sesuai dengan teks-teks agama. Ketiga kaum fundamentalis menolak pluralisme agama, menurutnya pluralisme agama adalah hasil dari menafsiran yang salah atas ayat-ayat al-Quran.
Pada abad ke-20 fundamentelisme ini menguat dan mengejutkan banyak pihak. Pada abad ke-20 merupakan kemenangan sekulerisme dan peminggiran peran agama dari kehidupan masyarakat. Kenyataannya fundamentalisme justru menguat. Fundamentalisme agama bukan khas islam, fundamentalisme adalah suatu kondisi yang ada setiap tradisi agama, dalam Kristen sikap fundamentalis begitu terbuka, Bush seorang fundamentalis kareanya perang yang dikumandangkan Bush terhadap Islam garis keras yang dianggap sebagai teroris pada dasarnya adalah perang antara dua kubu fundamnetalisme.
Adanya kaum fundamentalisme islam selalu dikaitkan dengan istilah terorisme, dengan sikap keagamaannya yang kaku dan tertutup terhadap ruang dialog, dan kemudian mengambil sikap anti-Barat. Dalam konteks Indonesia munculnya kelompok-kelompok islam radikal dan fundamnetalis yang didiorong persoalan local dan global sekaligus. Kelompok Islam radikal di Indonesia sulit dipisahakan dengan asal-usul mereka ditumur tengah adanya hubungan sangat erat antara radikalisme Islam di Indonesia dengan gerakan yang sama di Timur Tengah. Dengan menganut doktrin-doktrin yang sama, Islam radikal di Indonesia  bentuk praktik yang dilakukannnya berupaya untuk mengimplentasikan syariah Islam, doktrin lainnya adalah jihad, bagi sebagian besar kelompok Islam radikal, jihad bermakna kekerasan untuk penegakan ajaran Islam, meskipun demikian harus diakui bahwa kelompok Islam radikal ini beragam, dan akhirnya mengubur nilai-nilai kebangsaan.

2.      Dikotomi agama dan politik
Mengubah hubungan antra agama dan Negara adalah strategi awal yang dilakukan oleh para sekuleris unruk mewujudkan pemikiran mereka. Mereka memisahakan politik dri agama, serta memisahkan agama dari Negara, mereka mempopulerkan istilah “tidak ada agama didalam Negara dan tidak ada Negara di dalam agama”, Bahkan ada sebagian sekuleris yang memisahakan agama dari semua aspek kehidupan ini secara keseluruhan, mereka menganggap bahwa agama adalah persoalan pribadi.
Yang dimaksud dengan ungkapan “tidak ada agama dalam Negara” adalah politik tidak memiliki agama, maka dari itu tidak diharuskan melaksanakan norma dan nilai-nilai agama dalam berpolitik, agama hanya dipandang sebagai ritualitas, bagi mereka, Tuhan beserta perintah, larangan dan ketentuannya, tidak punya tempat dalam ranah perpolitikan.
Konsep ini sama halnya dengan teori Machiaveli, yang memisahakan antara etika dan politik. Dalam konsep ini bahwa untuk mencapai tujuan, boleh menghalalkan segara cara, pemikiran ini dianut oleh para dictator.

ISLAM MENJAWAB

1.      Jawaban Terhadap Masalah  Fundamentalisme Global
Permasalahan antara hubungan gerakan Islam radikal di Indonesia dengan timur tengah, adalah pola transmisi satu arah, artinya nilai-nilai islam selalu di transmisikan dari timur tengah ke Indonesia, dan tidak pernah terjadi sebaliknya, Timur Tengah adalah produsen doktrin-doktrin Islam dan Indonesia adalah konsumennya. Yang selanjutnya terdapat keyakinan dikalang pengkaji Islam di Asia tenggara, bahwa kalangan Islam ini merupakan Islam pinggiran, dilihat dari kemampuannya bercampur dengan dengan kultur dan tradisi local lainnya, sehingga gerakan Islam fundamentalis berkeyakinan bahwa ketika memasukan doktrin-doktrin Timur Tengah terhadap kalangan Islam ini akan cepat masuk dan diterima. Permasalahan yang urgen dalam hal ini adalah menimbulkannya perpecahan, dan mengklaim kebenaran sendiri kemudian menafikan kebenaran yang diyakini kelompok lain, islam yang sekarang semakin menonjolkan golongannya, yang menjadi penting dalam Islam sekarang adalah umatnya bukan ajarannya yang disebut dengan istilah “kamunalisme” dengan rasa keagamaan yang merupakan factor yang paling kuat dan menonjol, dan mengarah pada suatu ikatan sosial yang kuat akibat wujud pengelompokan keagamaan tadi. Secara historis bila mengaca pada pendudukan madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah terdapat nilai yang lebih penting mengenai hubungan Muslim dengan golongan umat yang lainnya diluar islam yang menekankan bahwa  nilai-nilai Islam merupakan nilai-nilai yang universal seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an sbb :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati“.( Al-Qaqarah 62)

2.      Jawaban Terhadap Masalah Dikotomi Agama dan Politik
Melihat permasalahan dikotomi agama dan politik yang lebih memandang bahwa perintah, larangan dan ketentuan Tuhan tidak berlaku dalam ranah politik, sama dengan teori yang memisahkan antara politik dan etika. Pemahaman ini akan menghalalkan segala macam cara untuk tujuan berpolitiknya termasuk memperbolehklan, membunuh atau memenjarakan kelompok tertentu demi stabilitas nasional dll. Cara berpolitik tersebut bukanlah cara untuk mengantarakan keapada kehidupan manusia yang lebih baik, kehidupan manusia akan lebih baik jika system politik mengikuti norma-norma agama dan kaidah etika yang konsen terhadap pertimbangan-pertimbangan antara baik dan buruk, benar dan salah. Dalam ranah Islam politik berarti keadilan bagi rakyat, pemberian hak yang sama, dan memerdekakan kaum tertindas, melindungi rakyat, demi kemaslahatan, jika agama masuk dalam politik ia akan berusaha keras untuk mencapai tujuan manusia yang paling utama, yaitu mengesakan Allah, membersihkan hati, mengagungkan ruhani, dan mencapai hakikat manusia sebagai khalifah di bumi, sesuai dengan seruan Allah Qs Al-Baqarah ayat 31 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"
Agama akan memeberikan dukungan terhadap pemerintah untuk selalu berusaha mencapai kebaikan, agama akan bersama mereka dalam kebenaran, menghibur mereka yang sedih, memperkuat yang lemah, mengadili yang berbuat salah, memperhatikan yang berbuat salah dan sampai benar-benar berhenti dan menyesali kesalahannya, seperti terdapat dalam sabda Rasulullah “tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zhalim maupun yang terzhalimi”.
Kemudian seorang sahabat bertanya “ya Rasulullah bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zhalim?” Rasulullah menjawab, “cegahlah dia agar tidak melakukan kezhaliman lagi, itulah pertolongan bagi dia”.
Itu salah satu contoh nilai dalam islam yang memberikan ruh secara tersembunyi terhadap pemerintah dengan istilah “An-Nafs Al-Lawwamah” (jiwa yang selalu menyesali) yang membuatnya takut berbuat zhalim (korupsi) dll. Ulama yang bernama Al-Biruni mengungkapkan bahwa “sebuah Negara jika bersandar pada salah satu sisi agama, maka Negara dan agama akan menjadi seperti saudara kembar, kemudian pembangunan akan tercapai secara sempurna berkat keberadaan agama dan negara secara bersamaan.”
Banyak dalil-dalil yang menunjukan Al-Quran memperhatikan urusan interaksi sosial dan petunjuk politik (QS Al-Maa’idah 50) :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” 
Dalam bukunya Al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan tentang dua jenis masyarakat, ada masyarakat duniawi semata dan ada masyarakat duniawi yang agamis, masyarakat jenis kedua lebih utama dan lebih tepat, selanjutnya menjelaskan tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat sosial yang tidak lebih kecil dari peran sikap fanatisme (nasionalisme), jenis masyarakat yang paling ideal bagi sebuah Negara adalah masyarakat yang menggabungkan agama dan Negara.

2.5  ORIENTASI IDEOLOGIS HUBUNGAN ISLAM DENGAN KEBANGSAAN  DI INDONESIA

1.      Menerima Keislaman dan Menolak Keindonesiaan
Dalam masyarakat Indonesia kontemporer, ada sebagian khalayak berpendapat bahwa islam dan Indonesia adalah dua identitas yang bertentangan dan tidak ada keseuaian diantara keduannya, contoh msyarakat yang berpendapat seperti ini adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) mereka berkeyakinan bahwa islam adalah wahyu Allah, dan Indonesia adalah buatan manusia, tidak lahir atas landasan syariat islam dan kekhilafahan, kemudian menolak demokrasi.
Dalam konteks Islam dan keIndonesian, HTI bisa dikategorikan kepada mereka meyakini ketunggalan Islam dan ketunggalan Indonesia, yang tidak bisa dikompromikan secara ideologis, meskipun mereka masuk dan berjuang dalam konteks Indonesia (dalam rangka membangun keislaman yang universal). Indonesia bagi mereka sekedar tempat dimana syariat Islam dan khilafah sebagaimana yang mereka pahami harus ditegakkan. Mereka menolak UUD 45, Pancasila, Demokrasi, partai politik sekuler, dengan landasan keyakinan Islam sebagai ideologi satu-satunya yang tidak bisa digandengkan apalagi dinomorduakan dengan kebudayaan.  Bagi mereka, Islam tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan tempat. Zaman dan tempatlah yang wajib mengikuti Islam. “Bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat,..karena di sana terdapat masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki dengan suatu ideologi (mabda) secara inqilabi (revolusioner).”  Islam bagi mereka adalah ideologi global yang tunggal yang tidak mengakui kebhinekaan ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam agama-agama dan kebudayaan (baik yang dianggap sebagai “global”, “asing”, “Barat”, maupun ‘lokal’). 

Pembangunan Karakter  Islam Fundamentalis
karakter atau kepribadian yang dibangun dalam HTI adalah karakter Islam yang homogen dan tertutup dan menutup akomodasi-akomodasi ideologis dan kultural. Keindonesian adalah tidak lebih dari tempat dimana karakter itu harus disemai dan dipaksa menerima gagasan khilafah dan syariat.
HTI menggunakan dikotomi “Negara Islam” dan “Negara Kafir”, di dalam Negara Islam, umat non-Muslim harus tunduk pada kekhalifahan Islam itu. An-Nabhani menulis, warga non-Muslim dibiarkan menjalankan akidah dan ibadahnya, makanan dan pakaian, nikah dan talak, juga sesuai dengan agama mereka, namun dalam urusan mu’amalat lainnya, uqubat, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain, warga non-Muslim wajib mengikuti aturan syariat Islam yang berlaku untuk semuanya. Kewajiban Negara adalah menerapkan Islam secara keseluruhan. Pelaksanaannya terhadap non Muslim dianggap sebagai salah satu cara mengajak mereka kepada agama Islam, sebab syariat berlaku umum bagi seluruh umat manusia.  Karena itu, Indonesia bukan Negara Islam, tapi Negara Kafir. Kebhinekaan diakui sekedar sebagai wahana dan wadah dimana ideologi Islam diwujudkan.

2.      Menomorsatukan Islam dan Menomorduakan Indonesia
Ada kelompok yang terlibat dalam proses demokratisasi di Indonesia, yang memperjuangkan Islam sebagai sistem yang komprehensif namun dalam konteks Indonesia yang majemuk secara budaya, agama, dan ideologi. Partai-partai politik “Islamis” mengutamakan Islam sebagai sistem yang paling baik dan paling benar, namun berjuang mewujudkannya dalam konteks falsafah Negara Pancasila, UUD 45 dan peraturan-peraturan lainnya. Namun demikian, mereka memahami konstitusi dan falsafah ini bukan sebagai prioritas utama, kelompok-kelompok Islamis ini memiliki konsep tarbiyah dan da’wah yang merujuk pada sumber-sumber abad pertengahan seperti Ibn Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, dan abad modern seperti  Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu ‘Ala al-Maududi, dan lain-lain. Mereka tidak menolak demokrasi (diterjemahkan menjadi al-dimukratiyyah), tapi bukan demokrasi liberal. Mereka mencoba melakukan Islamisasi demokrasi, dengan mengembangkan konsep-konsep Islam seperti syura dan Mithaq al-Madinah (didefinisikan sebagai Piagam atau Konstitusi Madinah). Mereka dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Ikhwan al-Musliminnya. Kelompok-kelompok Islamis menjadikan Indonesia sebagai bangsa dimana umat Islam menjadi pemilik utamanya, dan menjadikan Islam sebagai din, atau pola hidup yang lebih daripada definisi sempit “agama” yang private dan personal saja.

Pembangunan Karakter Bangsa Kelompok Ini
Mereka menomorsatukan Islam sebagai ideologi perjuangan, dan mengakui kebhinekaan budaya Indonesia sejauh itu tidak menghambat supremasi pemajuan Islam dan kemajuan umat Islam di Indonesia dan di manca Negara. Bagi mereka, Islamic umma first, Indonesia second, misalnya ketika mendukung Palestina, dan menyerukan jihad dan dakwah melawan kaum kafir Amerika, Yahudi, Zionis, dan sekutu-sekutunya. Mereka tidak menolak toleransi (tasamuh) dalam pengertian kerukunan sosial antar umat beragama; terbukti mereka bisa melakukan koalisi-koalisi dengan berbagai partai dan kelompok sejauh tujuan-tujuan dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Secara budaya, mereka lebih terarabkan dan Islam terlihat di formalitaskan, mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, Islamisasi budaya, Islamisasi ekonomi seperti bank syariah, dan Islamisasi masyarakat (Islamization of society) sebagai bagian dari program Islamisasi Indonesia secara keseluruhan. Mereka pun semakin pragmatis, tidak mengusung gagasan Negara Islam secara formal, tapi menyuarakan “clean and good governance” ketika kampanye dan ikut berkompetisi dengan partai-partai politik Islam lain dan nasionalis “sekuler” dengan organisasi dan jaringan yang solid terutama di kota-kota dan kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Topik penting dalam tarbiyyah mereka adalah perang pemikiran (al-ghazw al-fikri) antara Islam dan sistem-sistem jahiliyyah, seperti materialism, komunisme, orientalisme, dan kapitalisme. Lawan perang pemikiran mereka adalah Yahudi, Zionis, Kristen, Zoroaster, Ateis, dan kaum kafir lainnya yang bergerak di misi, pendidikan, buku-buku, media cetak, klub-klub, olahraga, yayasan-yayasan, lembaga-lembaga, hiburan, seni, musik, dan film. Mereka juga sering menggunakan teori konspirasi Zionis dan AS yang memerangi Islam. Mereka setuju dengan toleransi beragama dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik, bukan pada persoalan aqidah dan ibadah. Melalui politik sebagai dakwah, mreka berusaha menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Program utama mereka, adalah Islamisasi Indonesia, Mereka memformulasikan nilai-nilai moral yang Islam seperti keadilan dan kesejahteraan, namun menafsirkannya dalam kerangka Islam sebagai jawaban (Islam huwa al-hal). Hubungannya dengan kelompok lain, mereka memiliki slogan “Yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (mereka bercampur/bergaul dengan kelompok-kelompok lain, tapi mereka memiliki identitas yang membedakan).  Muatan tarbiyyah mereka adalah tauhid, akhlaq dan fikrah.  Mereka melakukan formalisasi syariat Islam, dengan cara melakukan perjuangan bertahap: mereka melakukan dialog dengan kelompok-kelompok lain, termasuk non-Muslim mengenai konsep dan esensi syariah: menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Secara prinsip, mereka mengakui eksistensi penganut agama-agama lain, dan memvisikan jaminan kebebasan beragama dan hak-hak sipil mereka, seperti dicontohkan Piagam Madinah.

3.      Menerima Keislaman dan keIndonesiaan
Orientasi ideologis keempat, dianggap “mainstream”, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan masyarakat yang berkembang dari tradisi madrasah, pesantren, dan IAIN (termasuk UIN dan STAIN) dan PTAI lainnya. Kelompok “mainstream” di Indonesia yang sering disebut “moderat” itu memiliki jasa yang besar dalam pembentukan karakter masyarakat Muslim dan bangsa Indonesia. Rumusan Muhammadiyah tahun 1959 “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yan sebenar-benarnya”, menunjukkan tujuan ormas ini yang tidak berorientasi pada politik kekuasaan, tapi pada masyarakat. Secara umum, Muhammadiyah menjaga keseimbangan antara purifikasi aqidah dan dinamisasi mu’amalah, keuniversalan Islam dan partikularitas budaya lokal, sambil terus menitikberatkan visi dan misi dakwah dan pendidikan yang berpegang pada amar ma’ruf nahi munkar, yang “moderat”, “tidak radikal”, “membela bangsa”, “mempertahankan Pancasila, UUD 45, dan (NKRI).”

Pembangunan Krakter Bangsa
Pendidikan karakter bangsa, menurut versi Muhammadiyah, tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Islam yang moderat itu karena posisi umat Islam yang di tengah (ummatan wasathan). Salah satu buku pedoman yang secara implisit memuat nilai-nilai pendidikan karakter adalah Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah sebagai hasil muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Buku Pedoman ini memuat Pandangan Islam tentang kehidupan, kehidupan Islami warga Muhammadiyah, mencakup kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berorganisasi, berbisnis, berprofesi, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan dalam seni dan budaya. Buku Pedoman ini mengandung prinsip-prinsip nilai dan norma, aktual, memberikan arah, ideal, ketuhanan, dan bersifat memudahkan (taisir). Dalam kehidupan beramasyarakat, Pedoman ini menekankan bahwa Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama Muslim maupun dengan non-Muslim.
Dalam bertetangga dengan non-Muslim, diajarkan bersikap baik dan adil, karena mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam. Pedoman ini juga memuat prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, kerjasama umat manusia, jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang lain, menegakkan amanat dan keadilan, perlakuan yang sama, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan.
Dalam kaitan keislaman dan keindonesian, misalnya, menurut salah satu aktifisnya, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang bersifat ideologis, karena Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya Agama Allah yang benar, berdasarkan Tauhid dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Muhammadiyah juga bertujuan membangun masyarakat utama khairu ummah dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Menurutnya, Muhammadiyah melakukan pemurnian (purifikasi, revivalisasi) dan pembaruan (reformasi, dinamisasi, transformasi) dan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah dan ishlah untuk terciptanya rahmatan lil a’lamin.
Nahdlatul Ulama, yang dianggap mewakili tradisionalisme Islam karena lahir dari kalangan ulama pesantren, mengemban visi dan misi keislaman yang berada di tengah-tengah dalam pengertian melestarikan teologi Ahlussunnah waljama’ah yang akomodatif terhadap budaya lokal, dibandingkan dengan Muhammadiyah yang lebih puritanistik. Perjalanan NU sejak awal hingga sekarang bersifat kompleks dan dinamis, meskipun terus dianggap sebagai wakil Islam tradisionalis yang moderat.
Secara khusus NU juga hadir untuk menjaga mazhab Ahlussunnah wal-jama’ah dan mazhab fiqih Syafi’i yang sudah dianut banyak ulama dan pesantren di Jawa khususnya. NU pun harus memperbanyak pondok-pondok, madrasah-madrasah, mesjid, langgar, seperti halnya mengurus anak yatim dan fakir miskin, serta memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang Islam. Dalam konteks moderasi politiknya, NU kembali kepada Pancasila, seperti ditegaskan KH Ahmad Siddiq yang manjur dan berpengaruh pada tokoh-tokoh NU setelahnya, termasuk Abdurrahman Wahid. KH Ahmad Siddiq misalnya berpidato: “Dasar Negara Pancasila dan agama Islam dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang.”
KH Ahmad Siddiq tegas dalam menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi-organisasi masyarakat dan politik. Dalam hubungan Islam dan Pancasila, KH Ahmad Siddiq menyatakan, “bentuk Negara kesatuan RI yang sekarang ini adalah bentuk final dari seluruh usaha penduduka Nusantara, termasuk umat Islam. Umat Islam Indonesia adalah mayoritas, karena itu semua persoalan rakyat Indonesia adalah identik dengan persoalan umat Islam Indonesia. Dalam pada itu, Pancasila sebagai ideologi Negara dibenarkan oleh Islam.” Adalah KH Ahmad Siddiq yang menawarkan trilogi persaudaraan (ukhuwah Islamiyah, wataniyah, dan basyariah). Menurut Andrée Feillard, jalan tengah ini sesuai dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian terhadap suatu harmoni masyarakat. Sementara Benedict Anderson menilai NU sebagai kelompok yang ingin mempertahankan dan memperluas suatu pola kehidupan religius. Muslimat NU misalnya, menyatakan  “Dengan wadah perjuangan Muslimat NU, wanita-wanita Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengabdi kepada agama, bangsa, dan Negara.” Muslimat NU juga mencita-citakan “terwujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridhoi Allah SWT.” Muslimat NU ingin “mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan yang sadar beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Lembaga ini bergerak “mewujudkan perempuan yang berkualitas, mandiri, dan bertaqwa kepada Allah SWT.“ Dengan demikian, keislaman dan keIndonesian bagi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan menyokong, karena kedua ormas ini lahir di Jawa yang kemudian merebak ke seluruh daerah di nusantara dan bahkan ke luar negeri. Pendidikan Islam yang mereka kembangkan cukup berbeda dalam hal penekanan dan strateginya, namun orientasi keagamaan mereka tidak menegasikan keIndonesian.
Keindonesian yang mereka bayangkan adalah paham kebangsaan yang memiliki nilai instrinsik positif dan konstruktif bagi kehidupan umat Islam yang relatif homogen di satu sisi (Sunni dan Syafii) tapi tetap bisa berdialog dengan kelompok lain seperti Syiah dan mazhab-mazhab lainnya, dan bahkan dalam banyak kesempatan juga dengan agama-agama lain baik di Indonesia dan maupun di manca Negara. Maka, ketika banyak orang mereka menyuarakan dan mengadakan program pendidikan karakter, mereka sudah memiliki paradigma dan program konkrit, meskipun terus melakukan pembaharuan-pembaharuan.
NU dan Muhammadiyah telah dan terus berjasa membangun karaketer umat Islam dan karakter bangsa, juga dalam hubungannya dengan penganut-penganut agama lain dan bangsa-bangsa lain pula. 

4.      Menerima subtansi Islam bukan sebatas formalitas, dan menerima keindonesian
kelompok ini menyebut diri mereka “progresif”, termasuk mereka yang mengusung ide-ide liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme, dalam pengertian yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai substansi Islam. Bagi mereka, Islam, keIndonesian, dan progresifitas saling mendukung, yang mengambil rujukan pada berbagai sumber baik klasik, pertengahan maupun modern, Muslim dan non-Muslim, Islam memiliki nilai-nilai universal dan nilai-nilai partikular. Mereka lebih mengutamakan nilai-nilai universal itu, seperti keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, kesetaraan, bagi kalangan progresif, nilai-nilai yang universal bisa diterapkan dalam konteks Indonesia, dan setiap nilai universal dengan sendirinya adalah Islami, tanpa harus diberi label Islam.
Nilai-nilai Islam bagi mereka bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan sejarah serta dari tokoh-tokoh zaman dan tempat yang terus berkembang, memberikan tempat terhormat bagi akal pikiran yang kritis terhadap sumber-sumber itu. Mereka menolak teokrasi, mempromosikan ide-ide demokrasi, hak-hak minoritas non-Muslim dan Muslim, hak-hak perempuan, dan kebebasan berpikir. Bagi sebagian kalangan mereka, seperti yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), syariat Islam itu sudah liberal dan liberatif asalkan dipahami secara tepat dalam konteks ruang dan waktu Indonesia.  Berbeda dengan kelompok lain, JIL dan kalangan yang seide dengan mereka, melakukan kritik terhadap cara pandangan keIslaman yang menurut mereka kaku dan tertutup dan anti pemikiran dan penafsiran rasional dan progresif.
Pembangunan Karakter Bangsa Kaum Progresif
Pendidikan karakter bangsa bagi kalangan progresif lebih merupakan penerjemahan nilai-nilai Islam dan agama-agama yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan hak manusia, perdamaian, kasih sayang, dan kemajuan. Karena Indonesia sudah majemuk, maka Islam tidak bisa tidak kecuali berwajah majemuk, atau multi-kultural. Islam sendiri pun, menurut mereka, memungkinkan dan bahkan meniscayakan kebhinekaan tafsir Islam. Yang menarik, keIndonesian bagi mereka adalah Indonesia yang majemuk, yang kaya budaya, yang toleran dan akomodatif bagi berbagai gagasan-gagasan luar dan dalam, bukan Indonesian yang mayoritasnya umat Islam. Sebagian mereka, Indonesia meskipun beragama, tidak memiliki sejarah Negara agama. Negara agama bagi mereka bukan asli Islam dan bukan asli Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah konsep bangsa yang memiliki nilai-nilai positif dan konstruktif bagi menjadi Muslim yang lebih cocok dan dinamis. Dan bagi mereka, Islam itu majemuk, dinamis, dan terbuka bagi penafsiran-penafsiran yang rasional dan progresif.
Menurut mereka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan, identitas orang Islam yang Indonesia dan orang Indonesia yang Islam. Di sini pendidikan karakter bangsa, meski tidak secara eksplisit, berarti pendidikan yang berorientasi kemajemukan, dan bagi umat Islam, pendidikannya adalah pendidikan kemajemukan yang dilandasi nilai-nilai universal Islam, bukan semata-mata simbol-simbol dan bentuk-bentuk lahiriyah keagamaan.  
Dari paparan empat orientasi keagamaan dan visi pendidikan karakter yang mereka perjuangkan diatas, ada beberapa pemikiran hubungan yang dinamis antara keIslaman dan keIndonesiaan dalam rangka pendidikan karakter bangsa. Meskipun mereka berbeda, mereka umumnya memperhatikan pendidikan. Jika pendidikan karakter diartikan sebagai pendidikan akhlaq, atau pendidikan kepribadian, maka mereka memiliki konsep-konsep itu, meskipun berbeda.

2.6  KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan materi ini hal yang paling penting dalam ajaran Islam adalah nilai Tauhid, mengesakan Tuhan dan memasrahakan diri dengan implikasi ketaatan dan tunduk patuh spenuhnya kepada Tuhan, yang menjadi modal karakter awal sebagai muslim, yang tidak terlepas dari hakikat kita sebagai khalifah di bumi ini. Hubungan terhadap nilai kebangsaan yang merupakan penerapan kpribadiaan seorang muslim dalam ranah sosial hubungan sesama manusia (habluminnass), diikat dengan suatu ikatan yang disebut “masyarakat sosial” dan “masyrakat Negara” selalu berhubungan dengan norma-norma Agama khususnya dalam hal ini norma Islam dan kaidah-kaidah etikanya Islam.
Sudah terbukti dengan tinjauan teologis maupun filosofis bahwa Islam sesungguhnya ajaran yang universal, terlihat dari bagaimana Islam menjawab permasalahan-permasalahan global, maupun munculnya karakter-karakter ideologi Islam terhadap nilai kebangsaan di Indonesia dan kebhinekaan Indonesia. Dan Islam sebagai landasan pembangunan karakter bangsa (Nation Character Building) adalah  merubah pemikiran dari Tuhan banyak (polytheisme) menjadi Tuhan satu (monoteisme). Dari tuhan-tuhan berupa materialisme, rasialisme, dan  lain sebagainya dilebur dan diganti dengan hanya Allah yang kita Tuhankan.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi  Agama dan Politik. Jakarta :  Darus Syuruk.
Boy ZTF, Pradana.2008. Fikih Jalan Tengah. Jakarta : Hamdalah.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dian Rakyat. 2009. Atas Nama Pengalaman Beargama dan Berbangsa di Masa Transisi. Jakarta : Paramadina.
Ali, Abdullah. 2007. Agama Dalam Ilmu Perbandingan. Bandung : Nuansa Aulia.
Munawar, Budhy. Rahman Elza Peldi Taher. 2013. Islam yang Hanif. Jakarta : Paramadina.
Abdul Ghani, Maqsud. 2000. Agama dan Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.












BIODATA

Nama                                       : Halim Ramdani
Alamat                                     : Jl. Ciledug No 256, Garut
Tempat, tanggal lahir              : Tasikmalaya, 26 Maret 1991
No contact                              : 08997536667
Email                                       : halimrmdn@gmail.com
Perguruan Tinggi                     : STAIDA Muhammadiyah Garut
Cabang Asaal                          : HMI Cabang Kabupaten Garut


Post a Comment

0 Comments