aprak atau ngaprak istilah bahas sunda yang artinya "pergi mencari kemana-mana" atau suatu istilah artinya "berpergian". Ngaprak saya kali ini sengaja untuk mencari informasi tentang sesuatu yang berbau budaya kasundaan, atau sunda. Masih dalam masa-masa hari jadi garut 2 abad ini, banyak kesempatan yang saya dapat untuk mencari beberapa informasi penting tentang budaya sunda, karena event-event dalam rangka memperingati hari jadi garut tahun ini tidak terlepas dari budaya sunda, dan sangat identik sekali dengan kebudayaan sunda.
Ketika berbicara tentang kebudayaan sunda, saya teringat akan hal yang menjadi ciri khas urang sunda bihari, maupun kiwari yang mulai pudar dalam hal pelestariannya, salah satu contohnya yaitu pemakaian "iket" atau ikat kepala yang menjadi ciri khas dan identik dengan masyarkat sunda, biasanya dipakai oleh kaum pria, terbuat dari kain dan bercorak batik khas kasundaan, dengan cara lipatan pemakaianya pun beragam.
Untuk saat ini pemakaian iket mulai populer kembali, tumbuh seiring dengan kegiatan-kegiatan dari beberapa pihak yang memperkenalkan iket sunda, terutama dalam kegiatan seni dan budaya, bahkan mampu mempengaruhi nonoman atau anak-anak muda kiwari untuk lebih bangga dan menumbuhkan kembali pemakaian iket sunda. sehingga tidak sedikit para pedagang iket-iket sunda yang bermunculan, karena penjualan iket ini menjadi peluang pasar yang menguntungkan, bukan hanya iket saja yang ditawarkan, tapi pedagang ini menjajakan juga baju khas sunda yang lebih dikenal dengan nama "pangsi".
Di Garut sendiri para penjual iket mulai banyak, cuman tempat jualan mereka tidak permanen dan tetap, hanya sebatas buka lapak di trotoar jalan, dan kadang juga buka lapak dadakan di tiap event-event yang ada. Hari sabtu tanggal 12 Mei 2013, saya sengaja jalan-jalan ke alun-alun Garut mencari penjual iket untuk sekedar berbincang-bincang dan mengobrol ringan, guna memperoleh informasi untuk bahan tulisan saya dan menjadi artikel diblog pribadi ini.
Hari itu tidak sulit menemukan penjual iket, karena di alun-alun sendiri sedang terselengaranya kegiatan lomba bagi anak-anak yaitu lomba "pangulinan budak lembur", memperlombakan permainan-permainan anak-anak masyarakat sunda dulu. Otomatis suasana ramai seperti itu merupakan waktu yang tepat bagi para penjual iket untuk menjajakan barang dagangannya.
Saya menemui salah seorang penjual iket disudut alun-alun,menjajakan deretan baju pangsi, dan iket yang beragam. Nama panggilannya mang Budi, dia penjual iket yang sudah lumayan lama menggeluti profesi ini, berasal dari Bandung, ini merupakan pertama kalinya mang Budi jualan di Garut, mang Budi ini termasuk pedagang keliling, spesialis event, maksudnya tiap ada event dimana-mana, mau itu di luar kota, maupun dalam kota, beliau selalu hadir menjajakan barang dagangannya. usianya sekitar 30an dengan gaya yang nyentrik,rambut gondrong, menjadi ciri khas tersendiri yang membedakan dengan pedagang iket yang lain.
Harga iket yang ditawarkan beragam,mulai dari Rp 20000 sampai Rp 40000, iket yang sudah jadi alias tinggal pakai harganya 40000an , kalau yang biasa ,hanya selembar kain belum jadi dilipat harganya hanya 20000an. sedangkan haga pangsi mang Budi menawarkan satu stelnya seharga Rp 100000, kalau perpotong harganya Rp 70000an. lumayan mahal. dan keuntungannya bagi mang Budi pun lumayan juga. kata mang Budi untuk sekarang kebanyakan yang membeli iket adalah anak-anak muda, seperti mahasiswa dan pelajar. Selain sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan, ini juga merupakan upaya untuk melestarikan kembali budaya sunda.
Sudah cukup berbincang-bincang dengan mang budi akhirnya saya membeli satu buah iket berwana coklat dengan corak batik yang unik, dan belajar langsung dari mang Budi cara pemakaiannya. hanya beberapa lipatan yang saya pelajari, yaitu jenis lipatan iket barangbak semplak,dan parengkos jengkol.padahal masih banyak jenis lipatan yang lainnya.
Disamping tempat jualannya mang Budi, ada lagi penjual yang barang-barang khas kasundaan, berbeda dengan mang Budi, pedagang ini menjual alat musik tradisional sunda, nama alat musik ini adalah "karinding", dengan suara yang khas decible, karinding ini merupakan alat tabuh/tepak, ukurannya kecil terbuat dari bambu, cara memainkannya cukup susah, memanfaatkan rongga mulut, dan getaran dari bambu itu sendiri, getaran dihasilkan dari tepakan jari.
Saya jadi tertarik dan ingin mencoba, lama saya berbincang-bincang kembali dengan penjual karinding ini, namanya adalah Sutarja, kelas 3 SMP, dan asli Garut, karinding ini asli buatan tanggannya sendiri, katanya belajar dari komunitas karinding di Bandung. sangat kreatif. harga yang ditawarkan beragam, kalau karinding biasa harganya hanya 15000, kalau karinding yang bagus harganya mencapai 40000. yang membedakan karinding yang biasa dengan yang bagus hanya dari segi fisiknya saja, karinding yang bagus lebih unik dengan ukiran-ukiran batik khas sunda, dengan gambar kujang dsb, tapi kalu karinding yang biasa tidak di ukir, dan terlihat biasa aja, tapi dari segi suara sama saja. Akhirnya saya membeli juga satu buah karinding biasa sekaligus coaching clinic kepada Sutarja bagai mana cara memainkannya.
Dari itu semua patutnya kita bangga terhadap budaya-budaya sunda yang begitu kaya dan beragam, masih banyak budaya-budaya sunda yang belum kita ketahui, jika bukan kita yang melestarikannya siapa lagi, sebaiknya kita merasa reueus menjadi urang sunda.
0 Comments